Surabaya,CJ – Banyaknya aduan masyarakat terkait terkait tingginya beban pajak kendaraan bermotor (PKB) yang tak sebanding dengan nilai jual kendaraan bermotor (NJKB) maupun harga pasar di lapangan. Anggota Komisi B DPRD Surabaya, Budi Leksono meminta agar pemerintah lebih transparan dan melakukan evaluasi dasar pengenaan pajak kendaraan tersebut.
“Banyak warga yang mempertanyakan mengapa pajak kendaraan tidak menyesuaikan dengan NJKB terkini dan harga pasar riil. Apalagi NJKB sering kali tidak diperbarui tepat waktu. Ini harus dijawab secara terbuka oleh pemerintah provinsi sebagai pengelola pajak kendaraan,” ungkap prian yang akrab dipanggil Buleks ini, Jumat (3/10/2025).
Buleks mengatakan, faktor regulasi daerah dan beban administrasi juga perlu ditinjau kembali. Sebab, selain pajak pokok, masyarakat juga dibebani biaya SWDKLLJ, penerbitan STNK, hingga plat nomor.
“Kalau semua digabung, wajar masyarakat merasa berat. DPRD akan mendorong agar ada perbaikan regulasi supaya pajak lebih adil dan rasional,” ujarnya.
Menurutnya, persepsi publik terkait pajak kendaraan “tidak pernah turun” harus segera dijawab dengan kebijakan yang konkret. “Pajak harus seimbang dengan kemampuan masyarakat dan nilai kendaraan. Kalau tidak, warga akan terus merasa diperas,” terangnya.
Sementara warga menganggap kebijakan pajak saat ini tidak adil karena tidak mempertimbangkan kondisi individual kendaraan.
“Mobil saya sudah berusia lebih dari 10 tahun, harga jualnya di pasaran jelas turun, tapi pajaknya tidak berkurang signifikan. Bahkan rasanya pajaknya tidak pernah turun,” tuturnya.
Dari aturan dasar pengenaan PKB memang menggunakan NJKB yang ditetapkan pemerintah daerah maupun pusat. Namun, NJKB tersebut adalah angka standar hasil survei harga pasar umum, bukan berdasarkan kondisi aktual setiap kendaraan.
“Hal inilah yang kerap membuat selisih besar antara nilai pajak dan harga riil kendaraan di pasaran.” tambahnya.
Selain itu, faktor depresiasi kendaraan juga menjadi sorotan. Kendaraan yang sudah tua atau pernah mengalami kerusakan tentu nilainya jauh di bawah NJKB. Namun, kondisi tersebut tidak tercermin dalam perhitungan pajak.
“Seharusnya ada koreksi khusus, misalnya untuk kendaraan bekas yang nilainya sudah jauh menurun, agar beban pajaknya lebih proporsional,” kata warga lain.
Tak hanya itu, sejumlah warga juga mengeluhkan adanya opsen dan pajak progresif. Bagi masyarakat yang memiliki lebih dari satu kendaraan, tarif pajak bisa berlipat, meskipun kendaraan kedua atau ketiga nilainya tidak sebanding dengan jumlah pajak yang harus dibayar.
“Kebijakan progresif ini memang untuk menekan kepemilikan kendaraan berlebih, tapi kenyataannya justru membebani warga menengah,” ujarnya.ADV/DN