Surabaya,CJ – Menjamurnya pasar liar di Surabaya mesih menjadi perhatian serius Komisi B DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Surabaya.
Dari hasil tinjauan lapangan Komisi B DPRD Surabaya bersama Pemkot Surabaya menemukan ketidaksesuaian antara izin dan kondisi riil. Menurut Anggota Komisi B DPRD Surabaya Mochammad Machmud ini dikarnakan lemahnya fungsi pengawasan di tingkat bawah. Ia menilai lurah dan camat seringkali abai terhadap pelanggaran di wilayahnya.
“Sudah tahu ada satu-dua pedagang di badan jalan, tapi dibiarkan sampai jadi puluhan bahkan ratusan. Sama halnya tanah pemkot yang dibiarkan ditempati sampai jadi kampung satu RW. Ketika mau dibongkar, jadi rumit,” ungkapnya, senin (11/8/2025).
Machmud mengingatkan bahwa di kecamatan ada Satgas Penertiban yang seharusnya aktif memantau pelanggaran, seperti pedagang di trotoar atau bangunan yang menutup aliran sungai. Ia memberi contoh kawasan Kalianak yang kini ramai dibongkar setelah bertahun-tahun dibiarkan.
Ia juga menyinggung kasus di kawasan Koblen yang sebelumnya mendapat izin khusus karena statusnya sebagai cagar budaya. Rekomendasi dari tim cagar budaya tahun 2020 memberi waktu dua tahun untuk membangun sesuai peruntukan. Namun hingga 2025, pembangunan tak kunjung dilakukan. “Itu berarti izinnya sudah mati sejak 2022. Kalau mau bergerak, ya tidak boleh lagi. Camat sudah kami minta bantu mengawasi,” tegasnya.
Hingga rapat kemarin, sejumlah lokasi pasar liar dan bangunan bermasalah di Tanjungsari masih belum mendapat SP1 atau SP2. Komisi B meminta dinas terkait segera mengambil langkah tegas, mengingat kasus ini sudah berulang kali dibahas.
Penertiban pasar liar di Tanjungsari bukan sekadar soal menegakkan perda, tetapi juga menguji keseriusan jajaran Pemkot Surabaya dalam menutup celah pembiaran. Kasus ini mencerminkan bagaimana “kasus klasik” bisa terus hidup ketika pengawasan di tingkat bawah lemah dan penegakan aturan tidak konsisten. Tanpa tindakan cepat dan terukur, Tanjungsari bisa menjadi contoh buruk bahwa aturan bisa dilanggar selama cukup lama sampai masalahnya membesar dan sulit dibongkar.
Kepala Dinkopumdag Surabaya, Febrina Kusumawati, menjelaskan bahwa hasil tinjauan lapangan bersama Komisi B menemukan sejumlah ketidaksesuaian antara izin dan kondisi riil. “Ada empat potret lapangan yang kami temui, dan semuanya punya masalah berbeda—luasan tidak cocok, KPLI berbeda, hingga jam operasional yang tidak sesuai aturan. Kalau ketentuan berbunyi A, tapi lapangan B, ya sudah, itu harus kita tindak,” ujarnya.
Febrina menegaskan bahwa penertiban bukan soal sulit atau tidak, melainkan soal menjalankan ketentuan hukum yang sudah disepakati bersama dalam perda dan perwali. Sebagian pasar liar ini sudah berdiri sejak lama, sehingga Pemkot sebenarnya punya kewenangan memindahkan atau menertibkan sesuai aturan. “Kalau sudah ada SP (surat peringatan) dan tidak diindahkan, ya tinggal lanjut ke langkah hukum. Prosesnya jelas,” tambahnya.
Febrina juga mengakui penertiban baru kali ini kembali mengemuka meski sebelumnya pernah dibahas di periode lalu. “Kalau dulu-dulu sempat belum terlaksanakan, sekarang kita lakukan. Tinggal kami keluarkan SP setelah rapat ini,” pungkasnya. ADV/DN