Surabaya,CJ – Kebijakan Pemerintah Kota Surabya mengalihkan bantuantuan permakanan menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) menjadi sorotan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya.
Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya Reni Astuti mengatakan bantuan permakanan yang dialihkan menjadi BLT juga berimbas pada tukang masak serta jasa kurir pengantar permakanan. Reni berharap Pemkot memberikan bantuan pekerjaan pada mereka yang terdampk dari perubahan aturan tersebut. Salah satunya bisa melalui rumah padat karya yakni pemberian modal usaha.
Reni menerangkan, program permakanan yang biasanya diberikan pada warga, dirubah menjadi BLT Permakanan yang disalurkan dalam bentuk uang tunai sebesar Rp 200 ribu. Tercatat 8.310 gakin yang mendapatkan BLT Permakanan di 2024.
Reni beranggapan kebijakan itu membuat nilai bantuan berkurang. Tahun lalu, bantuan permakanan dikirim langsung dengan nilai Rp 11 ribu per hari selama sebulan, totalnya Rp 330 ribu. Reni mendorong Pemkot memastikan jumlah tersebut cukup untuk pemenuhan pangan gakin.
Reni juga menegaskan Pemkot untuk memastikan bantuan-bantuan itu tersalur tepat sasaran. “Warga yang tidak mampu jangan sampai ada yang tidak tersentuh bantuan dari pusat maupun pemkot. Bantuan harus merata, mereka yang benar-benar membutuhkan harus mendapatkan bantuan,” ungkap Reni Astuti saat ditemui di Kantor DPRD Kota Surabaya Rabu (17/1/2024).
Selama ini, lanjut Reni pijakan yang dijadikan pemerintah pusat dan Pemkot Surabaya dalam memberikan bantuan adalah Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Menurut Permendagri, data tersebut bisa diperbaharui sebulan sekali. Mengingat angka kemiskinan tidak stagnan serta daftar penerima bantuan bisa berubah. Namun, pada kenyataannya pembaharuan kerap dilakukan enam bulan sekali.
Padahal, pembaharuan data harus dilakukan dengan rutin sebulan sekali. Agar warga yang belum terdaftar bisa segera menerima bantuan. Perihal perlindungn masyarakat, Reni meyakini bahwa tak boleh menunda-nunda. “Bagi yang belum ter-cover, bantuan juga bisa diberikan melalui dana Belanja Tidak Terduga (BTT) dalam APBD. Intinya, semua warga yang membutuhkan harus menerima bantuan secepat mungkin,” ungkapnya.
Pemkot, menurut Reni, juga harus melakukan akurasi data kemiskinan yang bersumber dari RT/RW. “Kenapa? Karena RT/RW itu yang tiap hari melihat lingkungannya secara langsung dan mengetahui keadaan warga. Mereka bisa melaporkan warganya yang perlu bantuan,” ungkap Reni.
Reni meminta kelurahan tidak membatasi ketika ada RT/RW mengusulkan warganya yang belum masuk data DTKS tapi benar-benar miskin dan tidak tersentuh bantuan apapun. Reni juga mengingatkan pada lurah untuk tak ragu melaporkan temuan gakin. Pasalnya, salah satu penilaian kinerja lurah adalah dari angka kemiskinan di daerah tersebut.
“Jika angka kemiskinan tinggi, kinerja dinilai kurang baik. Lalu jika kemiskinan rendah, kinerjanya mendapat nilai baik. Jika begini, Lurah bisa enggan melapor karena takut kinerjanya dinilai buruk. Akibatnya, gakin di daerahnya tak terdata dan tak mendapatkan bantuan,” ungkap Reni. ADV/DN